Jumat, 23 November 2012

Masa Kecil Muhammad (SAW) yang Menantang


Muhammad SAW telah menjadi yatim piatu sejak usia 6 tahun. Sepeninggal ibunya ia dirawat kakeknya, Abdul Mutholib, yang sangat menyayangi cucunya itu.
Abdul Mutholib memiliki kebiasaan duduk seharian di dekat Ka’bah di atas sebuah batu berlapis karpet. Tidak seorang pun berani duduk di tempatnya termasuk putra-putranya yang memilih duduk di sekeliling alas tersebut.
Suatu hari Muhammad kecil melompat ke alas karpet itu lalu duduk diatasnya. Paman-pamannya segera mengambil dan menurunkan Muhammad. Namun Abdul Mutholib memerintahkan mereka membiarkan Muhammad duduk di atas karpetnya sambil mengelusnya. Abdul Mutholib senang melihat Muhammad kecil tertawa riang bersenda gurau bersama pamannya, Zubair.
Namun tidak lama kemudian Abdul Mutholib wafat. Sebelum wafat ia memanggil 10 putranya dan berwasiat agar memelihara, merawat serta mendidik Muhammad. Abdul Mutholib  menunjuk Abu Tholib, satu-satunya saudara kandung ayah Muhammad, Abdulloh.
Dibanding putra-putra Abdul Mutholib yang kaya seperti Abu Lahab, Abu Tholib hidup dalam kemiskinan. Pendapatan Abu Tholib dari dagang hampir tidak mencukupi kebutuhan anggota keluarganya yang cukup banyak. Sehingga anak-anaknya yang masih kecil terpaksa bekerja begitupun Muhammad.
Ia menggembala kambing, mencari rumput menjadi buruh kasar pengangkut batu. Pada usia 12 tahun untuk pertama kalinya Muhammad SAW ikut Abu Tholib berdagang ke Syam.
Dapat dibayangkan di usia masih kanak-kanak Muhammad SAW sudah ditempa berbagai tantangan hidup termasuk berdagang ke tempat yang sangat jauh dari Mekah di semenanjung Arab ke Syam yang meliputi wilayah Syriadan sekitarnya.
“MUHAMMAD THE MESSENGER” -Abdurrahman Asy-Syarqawi

Jumat, 16 November 2012

Perjalanan Yang Indah



Sewaktu masih sakit, sebelum meninggal, Abu Hurairah, sahabat Nabi yang mulia ini, sempat menangis. Air matanya meleleh, membasahi janggutnya. Kepadanya ditanyakan, mengapa ia menangis? “Aku tak menangis karena dunia, tetapi karena jauhnya perjalanan, sedikitnya perbekalan, dan aku tak tahu ke mana perjalananku ini akan berakhir; ke surga atau neraka?”
Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah sesungguhnya aku amat mencintai pertemuan dengan-Mu. Semoga Eng kau juga mencintai pertemuan denganku. Sekiranya Engkau berkenan, kumohon pertemuan ini bisa segera berlangsung.”
Tak lama berselang, Abu Hurairah pun pergi, menghadap Allah, meninggalkan alam yang fana ini. (Ibn Rajab, Jami` al-`Ulum wa al-Hikam).
Abu Hurairah memang istimewa. Ia bersama Nabi SAW hampir sepanjang hayatnya. Karena tidak terlalu sibuk berbisnis, ia banyak belajar dan menimba ilmu dari Nabi, melebihi sahabat lainnya. Tak heran bila ia tergolong sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadis.
Tentu, tak ada keberuntungan melebihi orang yang memperoleh petunjuk Tuhan atau pencerahan hati (insyirah al-shadr). Diakui, tak seorang pun mengetahui, siapa yang telah mendapat pencerahan itu. Dalam hadis sahih, Nabi SAW hanya menyebut tiga hal sebagai indikatornya.
Pertama, menjauhkan diri dari tipu daya dunia (al-jafi fi dar al-ghurur). Orang mukmin tidak boleh silau memandang dunia. Dunia, seperti di katakan Ghazali, hanyalah kendaraan. Jangan sampai karena indahnya aksesori kendaraan, tujuan perjalanan (akhirat) menjadi terlupakan.
Kedua, memiliki orientasi ketuhanan (al-inabah ila dar al-khulud). Karena tertipu daya tarik dunia, banyak orang mengalami disorientasi, yaitu gangguan kejiwaan lantaran mempertuhankan harta dan takhta. Akibatnya, tak sedikit dari mereka kehilangan keseimbangan (disharmoni), bahkan kehilangan harapan (hopeless).
Ketiga, memperbanyak bekal sebelum kematian tiba (al-isti`dad qabl al-ma`ad). Bekal itu tak lain adalah iman dan amal saleh. Inilah bekal paling baik dalam perjalanan ini (QS al- Baqarah [2]: 197). Perjalanan manusia di dunia sangat pendek, seperti musafir yang istirahat (ngiyup) sebentar di bawah pohon karena kelelahan untuk selanjutnya meneruskan perjalanan.
Apa yang harus dilakukan dalam kesempatan yang pendek ini? Menurut Hossein Nasr, manusia harus berkebun di taman kebenaran (the garden of truth). Ada tiga elemen dalam proyek perkebunan ini, yaitu Allah, manusia, dan kebajikan (virtues). Proyek ini akan mentransendenkan manusia dari penghambaan kepada dunia (mundane concern), kepentingan diri sendiri (selfish desires), dan rasa takut (fears).
Seterusnya, perkebunan ini akan membuat manusia memperoleh hikmah (wisdom), kedamaian, dan hubungan yang makin erat dengan Tuhan, Sang Pemilik kebun, yang akan melimpahkan kebaikan, tak hanya bagi tukang kebun, tapi bagi orang lain.
Abu Hurairah telah melakukan dan memberi contoh dalam soal ini. Kita semua patut meneladaninya. Dengan cara ini, perjalanan panjang menuju akhirat tidak akan berat, malah terasa indah dan menyenangkan. Wallahu a`lam.

copas : hikmah republika tulisan : A Ilyas Ismail /12/11/03/

Senin, 12 November 2012

KOMSUMTIVISME UMROH

Medio April ini, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk menengok putra semata wayang kami yang sejak tahun lalu belajar di Universitas Islam Madinah. Kesempatan ini sekaligus kami manfaatkan untuk mengamati perkembangan umrah. Dibandingkan dengan era 1970-an sampai 1980-an, antusiasme umat untuk menjalankan umrah luar biasa. Dulu, kepadatan jamaah di Masjidil Haram yang mirip musim haji hanya pada malam 27 Ramadhan. Kini, kepadatan semacam itu dapat dilihat setiap malam.

Apakah yang mendorong mereka jor-joran menjalankan umrah?
Ada beberapa alasan. Pertama, lamanya masa tunggu untuk beribadah haji menjadi faktor yang menonjol terhadap fenomena umrah masa kini.
Kedua, kekurangpuasan ketika menjalankan ibadah haji sehingga mereka mengulanginya dalam bentuk umrah.
Ketiga, orang tua memberikan hadiah umrah bagi anak-anaknya yang berprestasi lulus ujian.
Keempat, sebagai simbol gengsi baru sebab dengan menjalankan umrah, berarti di mata masyarakat yang bersangkutan memiliki nilai plus. Bahkan, konon ada paket pernikahan di sisi Ka’bah.
Kelima, Makkah dengan fasilitasnya yang mutakhir tampaknya juga memengaruhi umat untuk berumrah.
Ibadah haji dan umrah diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H. Pada tahun itu pula Nabi SAW bermaksud untuk umrah, tetapi gagal karena Makkah masih dikuasai kaum musyrikin.
Sejak Makkah dibebaskan 8 H sampai beliau wafat tahun 11 H, Nabi SAW punya kesempatan beribadah haji tiga kali, tetapi beliau melakukannya hanya sekali.
Beliau juga punya kesempatan beribadah umrah ratusan bahkan ribuan kali, namun beliau beribadah umrah sunah hanya dua kali dan tidak pernah dilakukan pada bulan Ramadhan.
Sekiranya Nabi SAW tidak punya uang untuk berhaji tiap tahun dan berumrah tiap bulan, tentu para sahabat yang kaya akan membiayai Nabi SAW untuk hal itu.
Tetapi, Nabi SAW bukan tipologi orang yang suka minta bantuan.
Setelah Nabi SAW tinggal di Madinah, banyak terjadi peperangan. Maka, uang Nabi SAW dipakai untuk membiayai jihad fi sabilillah itu. Banyak sahabat yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan. Akibatnya, banyak janda, orang miskin, dan anak yatim.
Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni orang-orang tersebut.
Di Madinah juga, ada ratusan mahasiswa miskin yang belajar pada beliau. Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni mereka. Nabi SAW lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada ibadah individual apabila dua ibadah itu hukumnya sunah.
Di negeri kita, potret kemiskinan ada di mana-mana. Dalam keadaan seperti itu, apakah Islam membenarkan umatnya jor-joran pergi umrah? Sekiranya berhaji dan berumrah ulang adalah sebuah kebaikan, tentulah Nabi SAW telah melakukannya.
Kini, permasalahannya kembali pada kita, apakah kita dalam beribadah mau mengikuti contoh dari Nabi SAW, ataukah kita mengikuti selera alias hawa nafsu kita sendiri. Iblis sangat cerdik, maksiat dibungkusnya dengan ibadah.

Tulisan copy paste dari; “Koran Republika, Selasa 19 April 2011, hikmah oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub”