Jumat, 23 November 2012

Masa Kecil Muhammad (SAW) yang Menantang


Muhammad SAW telah menjadi yatim piatu sejak usia 6 tahun. Sepeninggal ibunya ia dirawat kakeknya, Abdul Mutholib, yang sangat menyayangi cucunya itu.
Abdul Mutholib memiliki kebiasaan duduk seharian di dekat Ka’bah di atas sebuah batu berlapis karpet. Tidak seorang pun berani duduk di tempatnya termasuk putra-putranya yang memilih duduk di sekeliling alas tersebut.
Suatu hari Muhammad kecil melompat ke alas karpet itu lalu duduk diatasnya. Paman-pamannya segera mengambil dan menurunkan Muhammad. Namun Abdul Mutholib memerintahkan mereka membiarkan Muhammad duduk di atas karpetnya sambil mengelusnya. Abdul Mutholib senang melihat Muhammad kecil tertawa riang bersenda gurau bersama pamannya, Zubair.
Namun tidak lama kemudian Abdul Mutholib wafat. Sebelum wafat ia memanggil 10 putranya dan berwasiat agar memelihara, merawat serta mendidik Muhammad. Abdul Mutholib  menunjuk Abu Tholib, satu-satunya saudara kandung ayah Muhammad, Abdulloh.
Dibanding putra-putra Abdul Mutholib yang kaya seperti Abu Lahab, Abu Tholib hidup dalam kemiskinan. Pendapatan Abu Tholib dari dagang hampir tidak mencukupi kebutuhan anggota keluarganya yang cukup banyak. Sehingga anak-anaknya yang masih kecil terpaksa bekerja begitupun Muhammad.
Ia menggembala kambing, mencari rumput menjadi buruh kasar pengangkut batu. Pada usia 12 tahun untuk pertama kalinya Muhammad SAW ikut Abu Tholib berdagang ke Syam.
Dapat dibayangkan di usia masih kanak-kanak Muhammad SAW sudah ditempa berbagai tantangan hidup termasuk berdagang ke tempat yang sangat jauh dari Mekah di semenanjung Arab ke Syam yang meliputi wilayah Syriadan sekitarnya.
“MUHAMMAD THE MESSENGER” -Abdurrahman Asy-Syarqawi

Jumat, 16 November 2012

Perjalanan Yang Indah



Sewaktu masih sakit, sebelum meninggal, Abu Hurairah, sahabat Nabi yang mulia ini, sempat menangis. Air matanya meleleh, membasahi janggutnya. Kepadanya ditanyakan, mengapa ia menangis? “Aku tak menangis karena dunia, tetapi karena jauhnya perjalanan, sedikitnya perbekalan, dan aku tak tahu ke mana perjalananku ini akan berakhir; ke surga atau neraka?”
Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah sesungguhnya aku amat mencintai pertemuan dengan-Mu. Semoga Eng kau juga mencintai pertemuan denganku. Sekiranya Engkau berkenan, kumohon pertemuan ini bisa segera berlangsung.”
Tak lama berselang, Abu Hurairah pun pergi, menghadap Allah, meninggalkan alam yang fana ini. (Ibn Rajab, Jami` al-`Ulum wa al-Hikam).
Abu Hurairah memang istimewa. Ia bersama Nabi SAW hampir sepanjang hayatnya. Karena tidak terlalu sibuk berbisnis, ia banyak belajar dan menimba ilmu dari Nabi, melebihi sahabat lainnya. Tak heran bila ia tergolong sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadis.
Tentu, tak ada keberuntungan melebihi orang yang memperoleh petunjuk Tuhan atau pencerahan hati (insyirah al-shadr). Diakui, tak seorang pun mengetahui, siapa yang telah mendapat pencerahan itu. Dalam hadis sahih, Nabi SAW hanya menyebut tiga hal sebagai indikatornya.
Pertama, menjauhkan diri dari tipu daya dunia (al-jafi fi dar al-ghurur). Orang mukmin tidak boleh silau memandang dunia. Dunia, seperti di katakan Ghazali, hanyalah kendaraan. Jangan sampai karena indahnya aksesori kendaraan, tujuan perjalanan (akhirat) menjadi terlupakan.
Kedua, memiliki orientasi ketuhanan (al-inabah ila dar al-khulud). Karena tertipu daya tarik dunia, banyak orang mengalami disorientasi, yaitu gangguan kejiwaan lantaran mempertuhankan harta dan takhta. Akibatnya, tak sedikit dari mereka kehilangan keseimbangan (disharmoni), bahkan kehilangan harapan (hopeless).
Ketiga, memperbanyak bekal sebelum kematian tiba (al-isti`dad qabl al-ma`ad). Bekal itu tak lain adalah iman dan amal saleh. Inilah bekal paling baik dalam perjalanan ini (QS al- Baqarah [2]: 197). Perjalanan manusia di dunia sangat pendek, seperti musafir yang istirahat (ngiyup) sebentar di bawah pohon karena kelelahan untuk selanjutnya meneruskan perjalanan.
Apa yang harus dilakukan dalam kesempatan yang pendek ini? Menurut Hossein Nasr, manusia harus berkebun di taman kebenaran (the garden of truth). Ada tiga elemen dalam proyek perkebunan ini, yaitu Allah, manusia, dan kebajikan (virtues). Proyek ini akan mentransendenkan manusia dari penghambaan kepada dunia (mundane concern), kepentingan diri sendiri (selfish desires), dan rasa takut (fears).
Seterusnya, perkebunan ini akan membuat manusia memperoleh hikmah (wisdom), kedamaian, dan hubungan yang makin erat dengan Tuhan, Sang Pemilik kebun, yang akan melimpahkan kebaikan, tak hanya bagi tukang kebun, tapi bagi orang lain.
Abu Hurairah telah melakukan dan memberi contoh dalam soal ini. Kita semua patut meneladaninya. Dengan cara ini, perjalanan panjang menuju akhirat tidak akan berat, malah terasa indah dan menyenangkan. Wallahu a`lam.

copas : hikmah republika tulisan : A Ilyas Ismail /12/11/03/

Senin, 12 November 2012

KOMSUMTIVISME UMROH

Medio April ini, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk menengok putra semata wayang kami yang sejak tahun lalu belajar di Universitas Islam Madinah. Kesempatan ini sekaligus kami manfaatkan untuk mengamati perkembangan umrah. Dibandingkan dengan era 1970-an sampai 1980-an, antusiasme umat untuk menjalankan umrah luar biasa. Dulu, kepadatan jamaah di Masjidil Haram yang mirip musim haji hanya pada malam 27 Ramadhan. Kini, kepadatan semacam itu dapat dilihat setiap malam.

Apakah yang mendorong mereka jor-joran menjalankan umrah?
Ada beberapa alasan. Pertama, lamanya masa tunggu untuk beribadah haji menjadi faktor yang menonjol terhadap fenomena umrah masa kini.
Kedua, kekurangpuasan ketika menjalankan ibadah haji sehingga mereka mengulanginya dalam bentuk umrah.
Ketiga, orang tua memberikan hadiah umrah bagi anak-anaknya yang berprestasi lulus ujian.
Keempat, sebagai simbol gengsi baru sebab dengan menjalankan umrah, berarti di mata masyarakat yang bersangkutan memiliki nilai plus. Bahkan, konon ada paket pernikahan di sisi Ka’bah.
Kelima, Makkah dengan fasilitasnya yang mutakhir tampaknya juga memengaruhi umat untuk berumrah.
Ibadah haji dan umrah diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H. Pada tahun itu pula Nabi SAW bermaksud untuk umrah, tetapi gagal karena Makkah masih dikuasai kaum musyrikin.
Sejak Makkah dibebaskan 8 H sampai beliau wafat tahun 11 H, Nabi SAW punya kesempatan beribadah haji tiga kali, tetapi beliau melakukannya hanya sekali.
Beliau juga punya kesempatan beribadah umrah ratusan bahkan ribuan kali, namun beliau beribadah umrah sunah hanya dua kali dan tidak pernah dilakukan pada bulan Ramadhan.
Sekiranya Nabi SAW tidak punya uang untuk berhaji tiap tahun dan berumrah tiap bulan, tentu para sahabat yang kaya akan membiayai Nabi SAW untuk hal itu.
Tetapi, Nabi SAW bukan tipologi orang yang suka minta bantuan.
Setelah Nabi SAW tinggal di Madinah, banyak terjadi peperangan. Maka, uang Nabi SAW dipakai untuk membiayai jihad fi sabilillah itu. Banyak sahabat yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan. Akibatnya, banyak janda, orang miskin, dan anak yatim.
Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni orang-orang tersebut.
Di Madinah juga, ada ratusan mahasiswa miskin yang belajar pada beliau. Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni mereka. Nabi SAW lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada ibadah individual apabila dua ibadah itu hukumnya sunah.
Di negeri kita, potret kemiskinan ada di mana-mana. Dalam keadaan seperti itu, apakah Islam membenarkan umatnya jor-joran pergi umrah? Sekiranya berhaji dan berumrah ulang adalah sebuah kebaikan, tentulah Nabi SAW telah melakukannya.
Kini, permasalahannya kembali pada kita, apakah kita dalam beribadah mau mengikuti contoh dari Nabi SAW, ataukah kita mengikuti selera alias hawa nafsu kita sendiri. Iblis sangat cerdik, maksiat dibungkusnya dengan ibadah.

Tulisan copy paste dari; “Koran Republika, Selasa 19 April 2011, hikmah oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub”

Rabu, 24 Oktober 2012

Pahala Untuk Isteri Yang Solehah


Sekali suami minum air yang disediakan oleh isterinya adalah lebih baik dari berpuasa setahun.

Makanan yang disediakan oleh isteri kepada suaminya lebih baik dari isteri itu mengerjakan haji dan umrah

Mandi junub si isteri disebabkan jimak oleh suaminya lebih baik baginya daripada mengorbankan 1,000 ekor kambing sebagai sedekah kepada fakir miskin.

Apabila isteri hamil ia dicatatkan sebagai seorang syahid dan khidmat kepada suaminya sebagai jihad”.

Pemeliharaan yang baik terhadap anak-anak adalah menjadi benteng neraka, pandangan yang baik dan harmonis terhadap suami adalah menjadi tasbih (zikir).

Tidak akan putus ganjaran dari Allah kepada seorang isteri yang siang dan malamnya menggembirakan suaminya”.

Apabila meninggal dunia seorang dan suaminya redha, nescaya ia dimasukkan ke dalam syurga. (Hadis Riwayat Tarmizi)

Seseorang wanita apabila ia mengerjakan sembahyang yng difardhukan ke atasnya, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatan dirinya dan taat kepada suaminya maka berhaklah ia masuk syurga dari mana-mana pintu yang ia suka”...

semoga bermanfaat ...

Kesabasaran Suami Istri


SABAR TERHADAP SUAMI
Pada zaman khalifah al-Manshur, salah seorang menterinya al-Ashmu’i, melakukan perburuan. karena terlalu asik mengejar hewan buruan, ia terpisah dari kelompoknya dan tersesat di tengah padang sahara.
ketika rasa haus mulai mencekiknya, dikejauhan ia melihat sebuah kemah. terasing dan sendirian. ia memacu kudanya ke arah sana dan menemukan penghuni yg memukau, wanita muda dan jelita. ia meminta air. wanita itu berkata, “ada air sedikit, tetapi aku persiapkan hanya untuk suamiku. ada sisa minumanku, kalau engkau mau ambillah”.
tiba-tiba wanita itu tampak siaga. ia memandang kepulan debu dari kejauhan. “suamiku datang” katanya. wanita itu kemudian menyiapkan air minum dan pembersih.
lelaki yg datang itu lebih mudah disebut “bekas manusia”. seorang tua yg jelek menakutkan. mulutnya tidak henti-hentinya menghardik istrinya. tidak satupun perkataan keluar dari mulut wanita itu. ia membersihkan kaki suaminya, menyerahkan minuman dg khidmat, dan menuntunnya dengan mesra masuk ke kemah.
sebelum pergi , al-Ashmu’i bertanya, “engkau muda, cantik dan setia. kombinasi yg jarang sekali terjadi. mengapa engkau korbnankan dirimu untuk melayani lelaki tua yg berakhlak buruk?”
Jawaban perempuan itu mengejutkan al-Ashmu’i, “Rosulullah saw bersabda : ‘Agama itu terdiri dari dua bagian, syukur dan sabar’. Aku bersyukur karena ALLAH telah menganugerahkan kepadaku usia muda, kecantikan, dan perlindungan. Ia membimbingku untuk berakhlak baik. aku telah melaksanakan setengah agamaku. karena itu, aku ingin melengkapi agamaku dengan setengahnya lagi, yakni bersabar”. (Dahsyatnya sabar, 2010)


KESABARAN SUAMI TERHADAP ISTRI
Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa, menuju kediaman amirul mukminin Umar bin Khattab. ia ingin mengadu kepada khalifat karena tak tahan dengan kecerewetan istrinya. sebagai seorang suami dan laki-laki, ia merasa diremehkan dan diinjak-injak harga dirinya. begitu sampai didepan rumah khalifah, orang tsb mengucapkan salam dan menunggu khalifah membuka pintun rumahnya. saat menunggu, laki-laki itu tertegun. dari dalam rumah, terdengar istri Umar sedang mengomel, marah-marah. cerewetnya melebihi istri yg akan diadukannya pada Umar. tapi, tak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengar istrinya yg sedang gundah. akhirnya, lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melapor istrinya pada Umar.
Umar keluar dari rumahnya untuk menemui sang tamu. ia tidak mendapatkan seorang pun disana, ternyata sang tamu sudah meninggalkan pintu rumahnya. karena orang tsb masih kelihatan oleh Umar, maka ia memanggilnya, “ada perlu apa wahai saudaraku?’ tanya Umar setelah orang itu balik lagi kepadanya.
“wahai Amirul mukminin, aku datang kepadamu hendak menyampaikan keluhanku tentang perilaku istriku yg kurang baik dan kurang menghormatiku. begitu lancangnya mulutnya merendahkanku. namun, tatkala aku mendengar suara istrimu dengan suara tinggi memarahimu, sedang engkau tidak membantah sedikitpun, aku segera berbalik tidak jadi melapor. aku malu pada diriku sendiri. itu kondisimu dengan istrimu, padahal engkau seorang pemimpin negara. bagaimana aku ini, hanya rakyat biasa”
Umar menasehati, “wahai saudaraku, aku bersabar terhadap istriku, karena itu haknya. Dialah yg menyiapkan makanan untukku, mencuci dan membersihkan pakaianku, yang menyusui anak-anakku. padahal, semua itu bukanlah kewajibannya. apalagi aku merasa damai bersama dirinya, karena dialah yang menyelamatkan aku dari perbuatan yang haram. aku bersabar karena semua hal tersebut”.
orang itu menjawab, “wahai Amirul mukminin, seperti itu juga sebenarnya yg telah diperbuat istriku kepadaku”. Umar memberi nasihat, “Sabarlah kamu, semua itu tidak akan lama”. (Dahsyatnya sabar, 2010:copas cintaallahswt)

semoga bermanfaat ...

Selasa, 23 Oktober 2012

Antara Hati, Niat dan Istiqomah


Hubungan antara Hati dan Niat

Secara singkat, Niat adalah salah satu bentuk keinginan yang datangya dari hati, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh pikiran seseorang, yang juga dipengaruhi oleh ilmu seseorang.
Seseorang sebaiknya harus mengetahui (memiliki informasi / ilmu) yang cukup agar tergerak hatinya dan melahirkan niat untuk melakukan amal kebaikan. Jika ilmu yang ia miliki kurang, maka ibadah dapat dipastikan akan menjadi satu beban yang memberatkan dirinya. Tetapi, jika ilmu yang ia miliki cukup, maka ibadah merupakan satu kebutuhan bagi dirinya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan melalui hadits Rasulullah ; “ Sesungguhnya amal (perbuatan) itu bergantung dari niatnya....”. Yang juga semakna dengan ungkapan ulama bahwa ‘amal (perbuatan) tanpa ilmu sesat, dan ilmu tanpa amal lumpuh”. Jadi bisa kita simpulkan, bahwa , ilmu sangat mempengaruhi hati, membentuk niat, dan mempengaruhi amal (perbuatan) seseorang dalam segala aspek kehidupannya.

Ibadah sesungguhnya merupakan satu kebutuhan bagi manusia, Al Quran menyatakan hal ini di banyak sekali ayat ayat-nya. Salah satunya bentuk ibadah adalah shalat. Hanya melalui informasi yang cukup (ilmu) yang dapat merubah paradigma kita tentang shalat. Dari shalat merupakan satu kewajiban, menjadi shalat merupakan satu kebutuhan. Satu kebutuhan sudah pasti wajib di penuhi, tetapi satu kewajiban belum tentu kita membutuhkannya. Terkadang, jika kita tidak merasa membutuhkan, maka kewajiban untuk memenuhinya pun boleh jadi sering di lalaikan. Maka, untuk tetap menjaga hati dan niat dalam beribadah, yang perlu kita lakukan adalah menambah informasi (ilmu) yang cukup agar dapat merubah paradigma kita tentang ibadah itu sendiri.

Istiqomah atau kontinuitas dalam beribadah

Salah satu makna dari Istiqomah adalah melakukan kebaikan secara terus-menerus (berkesinambungan / konsisten). Kebaikan yang dilakukan oleh manusia terus menerus disebabkan karena manusia juga membutuhkan kebaikan terus menerus selama hidupnya di dunia. Dan yang lebih besar lagi adalah mendapatkan kebaikan yang ia lakukan di dunia secara terus menerus itu untuk kehidupan di akhirat.
Surga adalah tempat yang di idamkan oleh setiap manusia, tempat kembali yang penuh dengan kenikmatan, keindahan yang belum pernah manusia rasakan. Ini adalah satu pencapaian besar yang perlu upaya dan pengorbanan. Dan untuk melakukan hal itu, tiada kata lain selain istiqomah.

Jika disimpulkan, maka untuk menjaga hati dan niat dalam istiqomah dalam beribadah adalah ;

     1.      Perbanyaklah ilmu melalui majelis ta’lim, buku-buku, dll. Karena ilmu akan     membentuk keyakinan, dan keyakinan akan mendorong amal. Niat termasuk dalam amal yang berasal dari hati. Dan pada akhirnya, hanya dengan ilmu, ibadah merupakan satu kebutuhan, dan bukan merupakan kewajiban yang membebani diri kita.

    2.    Dalam konteks perjalanan manusia, surga adalah tempat kembali bagi mereka yang mendapatkan ridho Allah. Dan ini merupakan satu hal yang besar, yang tidak bisa kita dapatkan kecuali dengan istiqomah, mendapatkan kebaikan terus menerus adalah satu hal yang kita inginkan, dengan demikian, lakukanlah kebaikan secara terus menerus.

Segala kebaikan datangnya dari Allah, segala kekhilafan datangnya dari penulis, mohon di maafkan. Wallahu ‘alam.


Semoga bermanfaat ….

Saat Cemburu Menyapa


Cemburu merupakan tabiat wanita. Ini juga dialami para istri Rasulullah dan sahabiyyah yang lain. Namun tentu saja, kecemburuan ini tidak serta-merta membutakan hati mereka. Bagaimana dengan kita?
Cemburu tak hanya milik lelaki, tapi juga milik kaum wanita. Bahkan, wanitalah yang dominan memiliki sifat yang satu ini karena merupakan tabiatnya. Perasaan cemburu ini paling banyak muncul pada pasangan suami-istri. (Fathul Bari, 9/384)
Oleh karena itu, semestinya hal ini menjadi perhatian seorang suami. Sehingga ia tidak serampangan dalam meluruskan ‘kebengkokan’ sang istri dan dapat memaklumi tabiat wanita ini selama dalam batasan yang wajar. Apalagi pada hakikatnya, kecemburuan istri terhadap suaminya bukan merupakan hal yang tercela. Bahkan menjadi tanda adanya rasa cinta di hatinya. Tentunya selama tidak melampaui batasan syariat.
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani , asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Bila seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata al-Hafizh , cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).
Dengan syarat, hal ini pasti dan ada bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Bila cemburu itu hanya didasari sangkaan, tanpa bukti, maka tidak diperkenankan. Adapun bila si suami seorang yang adil dan telah menunaikan hak masing-masing istrinya, tapi masih tersulut juga kecemburuan maka ada udzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) bila cemburunya sebatas tabiat wanita yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan ataupun perbuatan. (Fathul Bari, 9/393)
Salahkah Bila Aku Cemburu?
Mungkin sering muncul pertanyaan demikian di kalangan para wanita. Maka jawabnya dapat kita dapati dari kisah-kisah istri Nabi. Mereka pun ternyata memiliki rasa cemburu padahal mereka dipuji oleh Allah dalam firman-Nya:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan seorang wanita pun (yang selain kalian) jika kalian bertakwa…” (al-Ahzab: 32)
Al-Imam al-Qurthubi  menyatakan bahwa istri-istri Nabi  tidak sama dengan wanita lain dalam hal keutamaan dan kemuliaan, namun dengan syarat adanya takwa pada diri mereka. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/115)
Nabi  sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran. ‘Aisyah  bertutur tentang cemburunya :


مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ الله  كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ  إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَا
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah  seperti cemburuku kepada Khadijah karena Rasulullah  banyak menyebut dan menyanjungnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)
‘Aisyah  pernah berkata kepada Nabi  mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah :


كَأَنَّهَ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ؟ فَيَقُوْلُ: إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah?” Nabi  menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu, dan aku mendapatkan anak darinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3818)
Al-Hafizh Ibnu Hajar  berkata, “Sebab kecemburuan ‘Aisyah karena Rasulullah  banyak menyebut Khadijah   meski Khadijah  telah tiada dan ‘Aisyah aman dari  tersaingi oleh Khadijah. Namun karena Rasulullah  sering menyebutnya, ‘Aisyah memahami betapa berartinya Khadijah  bagi beliau. Karena itulah bergejolak kemarahan ‘Aisyah mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya untuk mengatakan kepada suaminya, “Allah  telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.” Namun Rasulullah n berkata, “Allah tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.” Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah kepada ‘Aisyah , karena ‘Aisyah  mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabiat wanita.” (Fathul Bari, 9/395)
Pernah ketika Nabi  berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabi pun mengumpulkan pecahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan wanita yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Karena dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/391, Syarah Shahih Muslim, 15/202)


Namun, bila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti mengghibah, maka Rasulullah  tidak membiarkannya. Suatu saat ‘Aisyah  berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu.” Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullah berkata kepada ‘Aisyah :

لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya (yakni mencemarinya).” (HR. Abu Dawud no. 4232. Isnad hadits ini sahih dan rijal-nya tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam Bahjatun Nazhirin, 3/25)


Juga kisah lainnya, ketika sampai berita kepada Shafiyyah  bahwa Hafshah  mencelanya dengan mengatakan, “Putri Yahudi”, Shafiyyah menangis. Bersamaan dengan itu Nabi masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Maka beliau pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Shafiyyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.”
Nabi n berkata menghiburnya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Lalu bagaimana dia membanggakan dirinya terhadapmu?”
Kemudian beliau menasihati Hafshah , “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah.” (HR. an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa, hlm. 43 dan selainnya)
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat ..

Senin, 22 Oktober 2012

Ketika Cobaan Datang Bertubi-tubi


Terkadang seseorang ditimpa ujian dan musibah datang bertubi-tubi…silih berganti…hilang yang satu datang lagi yang lain semisalnya…
Terkadang seseorang tidak melihat kegembiraan kecuali sangat jarang sekali.

Sungguh indah perkataan Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah tatkala beliau berbicara tentang banyaknya kesedihan dan sedikitnya kegembiraan

مِحَنُ الزَّماَنِ كَثِيْرَةٌ لاَ تَنْقَضِي ... وَسُرُوْرُهَا يَأْتِيْكَ كَالأَعْيَادِ
"Ujian zaman banyak dan tidak berhenti menimpa….
Dan kegembiraannya mendatangimu sesekali seperti hari raya yang datang sesekali…"

Bahkan terkadang ujian dan musibah terkadang datang tidak satu persatu akan tetapi datang bergerombol…

Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata

تَأْتِي الْمَكَارِهُ حِيْنَ تَأْتِي جُمْلَةً ... وَأَرَى السُّرُوْرَ يَجِيْءُ فِي الْفَلَتَاتِ
"Hal-hal yang dibenci tatkala menimpa datang secara bergerombol…
Dan aku memandang kesenangan datangnya sesekali…"

Memang benar, terkadang musibah dan ujian menimpa seseorang secara bergerombol…sampai-sampai terkadang seseorang tidak bisa berfikir dan bersikap yang waras..

Akan tetapi bagi seorang mukmin bagaimanapun kesulitan dan ujian yang dihadapinya maka ia akan tetap percaya dan yakin dengan rahmat Allah dan bertawakkal kepada Allah.
Ia yakin bahwasanya akan ada jalan keluar…akan terurai ikatan-ikatan kesulitan tersebut….bahkan justru keyakinan ini muncul dan nampak dalam kondisi yang amat sangat genting !!!

Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata :

وَلَرُبَّ نَازِلَةٍ يَضِيْقُ بِهَا الْفَتَى -- ذَرْعاً وَعِنْدَ اللهِ مِنْهَا الْمَخْرَجُ
ضَاقَتْ فَلَمَّا اسْتَحْكَمَتْ حَلَقَاتُهَا -- فَرُجَتْ وَكُنْتُ أَظُنُّهَا لاَ تَفْرَجُ
"Betapa sering musibah yang menjadikan sesak dada seorang pemuda… padahal di sisi Allah ada jalan keluarnya… Menjadi sempit…bahkan tatkala telah semakin kokoh rantai-rantai pengikat… terbukalah…padahal aku telah menyangka bahwasanya tidak akan terbuka ikatan tersebut…"

Seorang muslim janganlah lupa bahwasanya terkadang karunia Allah bisa jadi datang dalam musibah tersebut…
bahwasanya أَنَّ وَرَاءَ كُلِّ مِحْنَةٍ مِنْحَةً : dibalik setiap ujian ada pemberian dan karunia Allah.

Kita yakin bahwasanya Allah tidak menguji kita untuk mengadzab kita, akan tetapi untuk meramati kita. Seberat apapun juga suatu ujian maka pasti dibaliknya ada kebaikan yang banyak.

Bisa jadi kita tidak akan tahu hikmah dibalik ujian dan musibah tersebut kecuali setelah perginya ujian dan musibah tersebut.
Jika kita tidak bisa melihat keindahan dan hikmah pada musibah maka hendaknya kita merenungkan kisah yang terjadi antara Nabi Musa 'alaihis salam bersama Khodir dalam surat Al-Kahfi. Lihatlah bagaimana Musa memandang bahwasanya perbuatan Khodir yang membocorkan perahu, membunuh anak muda, dan menegakkan dinding merupakan murni keburukan, sehingga akhirnya iapun mengingkarnya. Akan tetapi… ternyata dibalik perkara-perkara tersebut ada kebaikan dan hikmah. Ternyata dibocorkannya perahu tersebut merupakan sebab selamatnya perahu agar tidak diambil oleh raja yang dzolim, dibunuhnya anak tersebut ternyata merupakan rahmat dari Allah terhadap kedua orang tuanya, yang ternyata jika sang anak besar maka akan menjerumuskan kedua orang tuanya dalam kekufuran. Dan dengan menegakkan tembok yang menyebabkan ditangguhkannya rejeki kedua anak yatim, ternyata merupakan rahmat dari Allah.

Sebagaimana pepatah :
رُبَّ أَمْرٍ تَتَّقِيْهِ، جَرَّ أَمْرًا تَرْتَجِيْهِ
"Betapa sering perkara yang kau jauhi/tidak sukai, ternyata mendatangkan perkara yang kau harapkan"

Allah berfirman :
فَعَسَى أَن تَكرَهُوا شَيئاً وَيَجعَلَ اللهُ فِيهِ خَيراً كَثِيراً
"Maka bisa jadi engkau membenci suatu perkara dan Allah menjadikan pada perkara tersebut banyak kebaikan" (QS An-Nisaa : 19)

Seorang penyair berkata :
إِذَا أَرْهَقَتْكَ هُمُوْمُ الْحَيَاِة ....وَمَسَّكَ مِنْهَا عَظِيْمُ الضَّرَرِ..
Jika kesedihan hidup sungguh telah melelahkanmu…
Kau telah ditimpa dengan kemudorotan yang besar

وَذُقْتَ الْأَمْرَيْنِ حَتَّى بَكَيْتَ...وَضَجَّ فُؤَادُكَ حَتَّى انْفَجَرَ..
Dua perkara tersebut telah kau rasakan hingga membuatmu menangis…

Hatimu telah bergeliak hingga meledak
وَسُدَّتْ بِوَجْهِكَ كُلُّ الدُّرُوْبَ...وَأَوْشَكْتَ أَنْ تَسْقُطَ بَيْنَ الْحُفَرِ..
Telah tertutup seluruh jalan dihadapanmu…
Engkau hampir terjungkal diantara lobang-lobang…

فَيَمِّمْ إِلَى اللهِ فِي لَهْفَةٍ...وَبُثَّ الشَّكَاةَ لِرَبِّ الْبَشَرِ
Maka menujulah kepada Allah dalam kesedihan…dan curahkanlah keluhanmu kepada Penguasa manusia"

(rodja 756 by facebook : Diringkas oleh Firanda Andirja)

semoga bermanfaat ....