Cemburu
merupakan tabiat wanita. Ini juga dialami para istri Rasulullah dan
sahabiyyah yang lain. Namun tentu saja, kecemburuan ini tidak serta-merta
membutakan hati mereka. Bagaimana dengan kita?
Cemburu tak hanya milik lelaki, tapi
juga milik kaum wanita. Bahkan, wanitalah yang dominan memiliki sifat yang satu
ini karena merupakan tabiatnya. Perasaan cemburu ini paling banyak muncul pada
pasangan suami-istri. (Fathul Bari, 9/384)
Oleh karena itu, semestinya hal ini menjadi perhatian seorang suami. Sehingga ia tidak serampangan dalam meluruskan ‘kebengkokan’ sang istri dan dapat memaklumi tabiat wanita ini selama dalam batasan yang wajar. Apalagi pada hakikatnya, kecemburuan istri terhadap suaminya bukan merupakan hal yang tercela. Bahkan menjadi tanda adanya rasa cinta di hatinya. Tentunya selama tidak melampaui batasan syariat.
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani , asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Bila seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata al-Hafizh , cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).
Dengan syarat, hal ini pasti dan ada bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Bila cemburu itu hanya didasari sangkaan, tanpa bukti, maka tidak diperkenankan. Adapun bila si suami seorang yang adil dan telah menunaikan hak masing-masing istrinya, tapi masih tersulut juga kecemburuan maka ada udzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) bila cemburunya sebatas tabiat wanita yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan ataupun perbuatan. (Fathul Bari, 9/393)
Oleh karena itu, semestinya hal ini menjadi perhatian seorang suami. Sehingga ia tidak serampangan dalam meluruskan ‘kebengkokan’ sang istri dan dapat memaklumi tabiat wanita ini selama dalam batasan yang wajar. Apalagi pada hakikatnya, kecemburuan istri terhadap suaminya bukan merupakan hal yang tercela. Bahkan menjadi tanda adanya rasa cinta di hatinya. Tentunya selama tidak melampaui batasan syariat.
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani , asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Bila seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata al-Hafizh , cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).
Dengan syarat, hal ini pasti dan ada bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Bila cemburu itu hanya didasari sangkaan, tanpa bukti, maka tidak diperkenankan. Adapun bila si suami seorang yang adil dan telah menunaikan hak masing-masing istrinya, tapi masih tersulut juga kecemburuan maka ada udzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) bila cemburunya sebatas tabiat wanita yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan ataupun perbuatan. (Fathul Bari, 9/393)
Salahkah Bila Aku Cemburu?
Mungkin sering muncul pertanyaan demikian di kalangan para wanita. Maka jawabnya dapat kita dapati dari kisah-kisah istri Nabi. Mereka pun ternyata memiliki rasa cemburu padahal mereka dipuji oleh Allah dalam firman-Nya:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan seorang wanita pun (yang selain kalian) jika kalian bertakwa…” (al-Ahzab: 32)
Al-Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa istri-istri Nabi tidak sama dengan wanita lain dalam hal keutamaan dan kemuliaan, namun dengan syarat adanya takwa pada diri mereka. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/115)
Nabi sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran. ‘Aisyah bertutur tentang cemburunya :
مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ الله كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَا
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah seperti cemburuku kepada Khadijah karena Rasulullah banyak menyebut dan menyanjungnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)
‘Aisyah pernah berkata kepada Nabi mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah :
كَأَنَّهَ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ؟ فَيَقُوْلُ: إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah?” Nabi menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu, dan aku mendapatkan anak darinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3818)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sebab kecemburuan ‘Aisyah karena Rasulullah banyak menyebut Khadijah meski Khadijah telah tiada dan ‘Aisyah aman dari tersaingi oleh Khadijah. Namun karena Rasulullah sering menyebutnya, ‘Aisyah memahami betapa berartinya Khadijah bagi beliau. Karena itulah bergejolak kemarahan ‘Aisyah mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya untuk mengatakan kepada suaminya, “Allah telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.” Namun Rasulullah n berkata, “Allah tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.” Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah kepada ‘Aisyah , karena ‘Aisyah mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabiat wanita.” (Fathul Bari, 9/395)
Pernah ketika Nabi berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabi pun mengumpulkan pecahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan wanita yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Karena dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/391, Syarah Shahih Muslim, 15/202)
Namun, bila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti mengghibah, maka Rasulullah tidak membiarkannya. Suatu saat ‘Aisyah berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu.” Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullah berkata kepada ‘Aisyah :
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya (yakni mencemarinya).” (HR. Abu Dawud no. 4232. Isnad hadits ini sahih dan rijal-nya tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam Bahjatun Nazhirin, 3/25)
Juga kisah lainnya, ketika sampai berita kepada Shafiyyah bahwa Hafshah mencelanya dengan mengatakan, “Putri Yahudi”, Shafiyyah menangis. Bersamaan dengan itu Nabi masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Maka beliau pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Shafiyyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.”
Nabi n berkata menghiburnya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Lalu bagaimana dia membanggakan dirinya terhadapmu?”
Kemudian beliau menasihati Hafshah , “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah.” (HR. an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa, hlm. 43 dan selainnya)
Wallahu a’lam.
Mungkin sering muncul pertanyaan demikian di kalangan para wanita. Maka jawabnya dapat kita dapati dari kisah-kisah istri Nabi. Mereka pun ternyata memiliki rasa cemburu padahal mereka dipuji oleh Allah dalam firman-Nya:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan seorang wanita pun (yang selain kalian) jika kalian bertakwa…” (al-Ahzab: 32)
Al-Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa istri-istri Nabi tidak sama dengan wanita lain dalam hal keutamaan dan kemuliaan, namun dengan syarat adanya takwa pada diri mereka. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/115)
Nabi sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran. ‘Aisyah bertutur tentang cemburunya :
مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ الله كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَا
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah seperti cemburuku kepada Khadijah karena Rasulullah banyak menyebut dan menyanjungnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)
‘Aisyah pernah berkata kepada Nabi mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah :
كَأَنَّهَ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ؟ فَيَقُوْلُ: إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah?” Nabi menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu, dan aku mendapatkan anak darinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3818)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sebab kecemburuan ‘Aisyah karena Rasulullah banyak menyebut Khadijah meski Khadijah telah tiada dan ‘Aisyah aman dari tersaingi oleh Khadijah. Namun karena Rasulullah sering menyebutnya, ‘Aisyah memahami betapa berartinya Khadijah bagi beliau. Karena itulah bergejolak kemarahan ‘Aisyah mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya untuk mengatakan kepada suaminya, “Allah telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.” Namun Rasulullah n berkata, “Allah tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.” Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah kepada ‘Aisyah , karena ‘Aisyah mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabiat wanita.” (Fathul Bari, 9/395)
Pernah ketika Nabi berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabi pun mengumpulkan pecahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan wanita yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Karena dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/391, Syarah Shahih Muslim, 15/202)
Namun, bila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti mengghibah, maka Rasulullah tidak membiarkannya. Suatu saat ‘Aisyah berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu.” Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullah berkata kepada ‘Aisyah :
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya (yakni mencemarinya).” (HR. Abu Dawud no. 4232. Isnad hadits ini sahih dan rijal-nya tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam Bahjatun Nazhirin, 3/25)
Juga kisah lainnya, ketika sampai berita kepada Shafiyyah bahwa Hafshah mencelanya dengan mengatakan, “Putri Yahudi”, Shafiyyah menangis. Bersamaan dengan itu Nabi masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Maka beliau pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Shafiyyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.”
Nabi n berkata menghiburnya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Lalu bagaimana dia membanggakan dirinya terhadapmu?”
Kemudian beliau menasihati Hafshah , “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah.” (HR. an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa, hlm. 43 dan selainnya)
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar