Baghdad, ibu kota Irak, ibu
kota pemerintahan khalifah Abbassiyyah, dan termasuk ibu kota Islam yang
bersejarah. Pusat ilmu pengetahuan dan seni, tempatnya para ulama dan ahli
syair, kota berkumpulnya ahli sastra dan cendikia.
Pada masa pemerintahan Amirul
Mukminin Abu Ja‟far
Abdullah Al-Manshur, ilmu pengetahuan dan kesenian berkembang pesat, marak
dengan perdebatan dan diskusi ilmiah. Tetapi sayang di masa itulah tumbuh dan
tersebar aliran-aliran sesat. Penyebaran aliran-aliran tersebut sungguh
mengancam kokohnya Islam.
Diantaranya adalah suatu aliran
yang bernama Ad-Dahriyyah, mereka adalah suatu kelompok yang mengingkari
keberadaan Sang Pencipta alam semesta, mereka berpendapat bahwa masa itu adalah
qodim (dahulu dan kekal), juga tidak beriman kepada hari kebangkitan dan berpendapat
bahwa hari kebangkitan hanyalah dongeng belaka. Menurut mereka yang mematikan
kita tidak lain hanyalah berlalunya masa (Ad-Dahr), karena itulah mereka
disebut dengan Ad-Dahriyyah.
Dikisahkan bahwa seorang tokoh
aliran Ad-Dahriyyah berkunjung ke Baghdad pada masa Syaikh Hammad RA, guru Imam
Abu Hanifah. Kedatangannya sungguh membuat resah, ia mengajak ulama-ulama setempat
berdebat tentang keberadaan Allah Ta‟ala dan tempatNya. Dengan kepiawaian retorikannya, ia
mengalahkan ulama-ulama Baghdad, hingga hampir tidak tersisa lagi ulama
Baghdad, semuanya telah ia patahkan argumen-argumennya.
Suatu hari Ad-Dahri berdiri di atas
mimbar seraya berseru: “Apakah masih tersisa ulama kalian?” tanyanya congkak.
“Ya…, masih ada guru kita,
Syaikh Hammad” Sorak rakyat Baghdad. Kemudian Ad-Dahri menoleh ke arah khalifah
dan berkata, “Wahai Paduka yang mulia, hadirkanlah Syaikh Hammad untuk berdebat
denganku!” Kemudian sang Khalifah mengirim utusan mengundang Syaikh Hammad RA.
Setelah disampaikan, beliau menjawab, “Beri aku waktu semalam!”
Pada
pagi harinya, Abu Hanifah RA yang ketika itu masih kanak-kanak, seperti biasa
datang ke rumah sang guru untuk belajar. Setelah diizinkan masuk, Abu Hanifah
penasaran melihat gurunya tampak bingung dan bimbang, seperti ada masalah
besar. Abu Hanifah pun memberanikan diri untuk bertanya kepadanya: “Wahai tuan
guru, anda tampak bingung, apa yang sedang terjadi?”
“Bagaimana aku tidak bingung,
sang Khalifah telah mengundangku untuk berdebat dengan tokoh Ad-Dahri, dan dia
telah mengalahkan semua ulama Baghdad. Aku mengkhawatirkan hancurnya Islam,
manakala aku tidak bisa mengalahkannya. Dan juga tadi malam, aku bermimpi
sangat aneh!” jawab Syaikh Hammad RA.
“Apa yang anda lihat dalam
mimpi, wahai tuan guru?” tanya Abu Hanifah RA dengan nada penasaran.
Syaikh Hammad RA menarik napas
dalam-dalam, lalu mulai berkata, “Tadi malam aku melihat sebuah istana yang
luas dan indah, di dalamnya terdapat sebuah pohon yang rindang berbuah.
Tiba-tiba seekor babi muncul dari bawah tiang istana, lalu memanjat pohon
tersebut dan memakan buah-buahannya, daun-daun, dan ranting-rantingnya hingga
hanya tersisa batangnya saja. Setelah itu tiba-tiba dari pangkal batang pohon
tersebut, keluar seekor singa lalu menerkam dan membunuh babi itu.”
“Wahai tuan guru, Allah Ta‟ala telah mengaruniai
saya dengan ilmu ta‟bir
mimpi, menurut hemat saya mimpi ini adalah pertanda baik bagi kita dan pertanda
buruk bagi musuh kita.” Sahut Abu Hanifah RA.
“Jika tuan guru berkenan, saya
akan menjelasakan tafsir mimpi itu!” tambahnya.
“Ya, terangkanlah!” jawab
Syaikh Hammad RA.
Lalu Abu Hanifah RA mulai
menjelaskannya: “Istana yang luas dan indah itu adalah negeri Islam, sedangkan
pohon berbuah itu adalah para „ulama, dan batang yang masih tersisa adalah tuan
guru, babi itu adalah Ad-Dahri, sedangkan singa yang membunuhnya adalah saya.
Ajaklah saya bersama tuan guru, semoga dengan keberkahan cita-cita dan kemulian
tuan guru, Insya
Allah
saya akan berdebat dengan Ad-Dahri dan mengalahkannya.” Seru Abu Hanifah RA
dengan semangat menyala-nyala.
Syaikh Hammad RA sangat gembira
mendengarnya, lalu keduanya beranjak dari tempatnya untuk berangkat saat itu
juga ke masjid Jami‟
Baghdad. Sang Khalifah pun ikut hadir untuk menyaksikan perdebatan yang pasti
akan seru itu, demikian juga penduduk kota Baghdad tidak ingin ketinggalan
menyaksikannya, mereka berkumpul di masjid Jami‟ sambil menunggu kedatangan beliau.
Akhirnya datanglah Syaikh
Hammad bersama muridnya Abu Hanifah, lalu mereka mengambil tempat duduk. Abu
Hanifah berdiri di atas sepatunya yang ia tutupi dengan alas tidurnya supaya
terlihat agak tinggi, sambil membawakan sandal gurunya.
Lalu datanglah Ad-Dahri, ia
berjalan dengan angkuh, kemudian ia naik ke atas mimbar dan berkata: “Siapa
yang bisa menjawab pertanyaanku? Ayo siapa? Ha..ha..ha…….”
“Omongan macam apa ini? Tanya
saja, jangan banyak bicara, orang yang tahu nanti juga akan menjawab pertanyaanmu!”
sahut Abu Hanifah RA.
Ad-Dahri pun angkat bicara,
“Wahai bocah ingusan, siapa kamu ini? Berani-beraninya berkata lancang di
hadapanku, berapa banyak para sesepuh-sesepuh ulama, ahli ilmu yang bersorban
besar, berpakaian mewah, berlengan lebar, mereka semua telah berdebat denganku
tapi akhirnya mereka takluk dan tidak sanggup menjawab pertanyaanku. Lalu
bagaimana dengan engkau, engkau mau berdebat denganku, padahal engkau masih
ingusan dan Bocah?”
“Allah Ta‟ala tidaklah
meletakkan kemulian dan keluhuran pada sorban-sorban besar, baju mewah, lengan
baju yang lebar, tetapi Dia meletakkannya bagi para „ulama. ” Bantah Abu
Hanifah.
“Apakah engkau yang akan
menjawab pertanyaanku, wahai bocah?” tanya Ad-Dahri dengan nada meremehkan.
“Ya, aku akan menjawabnya
dengan pertolongan Allah Ta‟ala. ” Jawab Abu Hanifah.
Setelah
itu Ad-Dahri bertanya, “Apakah Allah itu ada?” Abu Hanifah: “Ya ada.” Ad-Dahri:
“Dimana Dia?” Abu Hanifah : “Tidak ada tempat tertentu bagiNya, hanya Dialah
Yang Maha Tahu.” Ad-Dahri: “Bagaimana mungkin Dia ada, tetapi tidak bertempat
tinggal?” Abu Hanifah : “Jawaban pertanyaanmu ini ada di badanmu sendiri.”
Ad-Dahri: “Apa itu….tunjukkan padaku!” Abu Hanifah : “Apakah di dalam tubuhmu
ada ruhnya?” Ad-Dahri: “Ya…ya tentu ada.” Abu Hanifah : “Dimanakah ruhmu?
Apakah di kepalamu? Atau di perutmu? ataukah di kakimu?” Ad-Dahri: ???!!!!!
(kebingungan)
Kemudian Abu Hanifah minta
diambilkan segelas susu, ia memegang segelas susu itu lalu bertanya kepada
Ad-Dahri: “Apakah di dalam susu ini ada lemaknya?” Ad-Dahri: “Ya, jelas ada.”
Abu Hanifah : “Dimana letaknya, di bagian atas atau di bawahnya?” Ad-Dahri:
???!!!! (kebingungan)
Abu Hanifah : “Sebagaimana
tidak diketahui tempatnya ruh pada badan, juga tempatnya lemak pada susu,
demikian juga tidak diketahui tempatnya Allah Ta‟ala di alam semesta ini, hanya Dialah Yang Maha Tahu.”
Ad-Dahri: “Baiklah, masih ada
lagi. Apa yang ada sebelum Allah dan apa yang ada setelah Allah?” Abu Hanifah :
“Tidak ada sesuatupun sebelumNya dan tidak ada pula sesudahNya, Dialah Yang
Maha Awal dan Akhir!” Ad-Dahri: “Bagaimana bisa dibayangkan, Dia ada tetapi
tidak ada yang mengawaliNya dan tidak ada yang mengakhiriNya?”
Abu Hanifah : “Jawabannya juga
ada di badanmu sendiri.” Ad-Dahri: “Hah…, apa itu?” Abu Hanifah : “Coba
tunjukkan telapak tanganmu!” Ad-Dahri pun menunjukkan telapak tangannya dengan
penasaran.
Abu
Hanifah : “Katakan! Apa sebelum ibu jarimu dan apa setelah jari kelingkingmu?”
Ad-Dahri: “Tidak ada apapun sebelum ibu jariku dan tidak ada apapun setelah jari
kelingkingku.” Abu Hanifah “Demikian juga Allah Ta‟ala, tidak ada apapun
sebelumNya, dan tidak ada apapun setelahNya.”
Ad-Dahri: “Jangan bangga dulu
hai bocah, masih ada satu pertanyaan lagi dan kamu pasti tidak bisa
menjawabnya.” Abu Hanifah : “Insya Allah, saya akan menjawabnya.”
Ad-Dahri: “Apa yang dilakukan
oleh Allah sekarang ini?” Abu Hanifah : ……. (diam sejenak) Ad-Dahri: “Ha….ha…,
kenapa diam? Tentu kamu bingung ya!” Abu Hanifah : “Sebentar, anda ini tidak
sopan! Seharusnya orang yang menjawab berada di atas mimbar, dan yang bertanya
di bawahnya. Turunlah! Saya akan menjawab pertanyaa jika anda turun!”
Akhirnya Ad-Dahri pun turun
dari mimbar, setelah itu Abu Hanifah RA naik ke atas mimbar. Ketika ia duduk,
Ad-Dahri kembali bertanya: “Ayo sekarang jawab pertanyaanku!” desaknya.
Abu Hanifah “Yang dilakukan
oleh Allah Ta‟ala
sekarang adalah menurunkan ahli batil seperti kamu, dari atas ke bawah dan
menaikkan ahli haq (saya) dari bawah ke atas”
Penduduk Baghdad: “Allahu Akbar….Allahu Akbar…!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar